Membangun Rumah Kepribadian 4

PILAR KEPRIBADIAN SEORANG MUSLIM.

Mengenal Allah Ta’ala

“Isyhaduu bi Annaa Muslimun”

“Dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami  adalah muslim !”

Saudaraku, sebagaimana membangun rumah tempat kita tinggal, tentu tidak akan mungkin berdiri tanpa pilar-pilar yang menyangganya, demikian pula halnya dengan membangun rumah kepribadian, ia pun tidak akan bisa berdiri kokoh tanpa pilar-pilar yang mengusungnya. Apa saja pilar itu ? Salah satunya adalah mengenal Allah secara baik dan benar (Ma’rifatullah)

Apa Itu Mengenal Allah ?

Saudaraku,   mengenal Allah, bagi setiap muslim,  adalah satu keniscayaan, bahkan kebutuhan. Dikatakan demikian, karena dua alasan berikut :

  1. Selama kita hidup di dunia ini, maka sejatinya kita sedang “berjalan”, dan setiap yang berjalan pasti punya tujuan, kalau ada orang yang berjalan tapi tidak punya tujuan, maka apalah makna perjalanan, sia-sia belaka. Atau dia punya tujuan (kota X semisal), tapi dia tidak tahu apa dan seperti apa kota X tersebut, ia pun pasti akan setengah hati menempuhnya. Tidak demikian halnya dengan orang yang tahu persis bagaimana kota X tersebut, yakni kota yang penuh keindahan, ketenangan dan harapan, maka tentu ia sangat mantap menempuh perjalanan menuju kota X tersebut. Begitu pulalah gambaran tentang hidup di dunia ini, hakikatnya sedang berjalan, dengan tujuan hakiki Allah Rabbul Alamin, sebagaimana dinyatakan banyak orang dalam berbagai ungkapan : “Allahu ghayatuna” (Allah tujuan kami), atau “Ilahi Anta Maqshudi” (Ya Allah, Engkaulah yang aku tuju) “Wa Ridhaka Mathlubi” (dan Ridha-Mu yang aku cari).

Siapa saja yang hidup di dunia ini tapi ia tidak mengetahui tujuan hakikinya, maka yang ada pada dirinya hanya kesia-siaan sepanjang hayat. Kalau pun ia mengetahui bahwa tujuan hakiki hidup di dunia ini adalah Allah, tapi ia tidak mengenal siapakah Allah itu (Ma’rifatullah), maka akibatnya ia akan setengah hati menempuh hidup di dunia ini. Tidak demikian halnya dengan orang yang mengenal dengan baik dan benar akan Allah Ta’ala, maka yang ia rasakan sepanjang perjalanan hidup di dunia ini adalah kemantapan, keyakinan, ketenangan dan harapan yang pasti, kalau ujung hidup di dunia yang cuma sekali-kalinya ini adalah keindahan yang tidak pernah dilihat mata, didengar telinga atau sekedar terbersit di dalam hati; itulah keindahan hidup dalam rengkuhan Ridha Allah dalam gelimang ni’mat surgawi yang tiada terkira, bersama para Nabi, Rasul, syuhada, shalihin dan kekasih-kekasih Allah lainnya.

  1. Hidup adalah kumpulan aktivitas, dan  aktivitas seseorang, sesungguhnya, amat sangat dipengaruhi oleh seberapa besar kadar ma’rifah (pengenalan) dirinya akan Allah Ta’ala. Sebagai contoh, orang yang mengenal bahwa Allah itu Maha Mendengar, tentu ia akan sangat menjaga kata-katanya, jangan sampai terucap kata-kata yang tidak disukai Allah, atau mengenal kalau Allah itu Maha Melihat tentu ia sangat berhati-hati dalam bersikap, jangan sampai ia melakukan sesuatu yang dimurkai Allah, atau mengenal bahwa Allah Maha Pemaaf lagi Pengampun, akan membuat dirinya mudah memaafkan dan mengampuni kesalahan siapapun, mengenal Allah Maha Rahman dan Rahim, tentu akan melimpahlah kasih sayang dari dirinya. Singkat kata, orang yang benar-benar mengenal Allah SWT, maka hidupnya pasti akan terpengaruh oleh Allah; kemana-mana pertimbangan dirinya hanya satu saja, yaitu Allah Ridha atau tidak dengan apa yang dilakukannya. Kesemuanya ini akan membentuk kepribadian yang khas, yang mengkarakter pada dirinya. Sebaliknya orang yang tidak (atau belum) mengenal Allah secara baik dan benar, maka apapun yang ia perbuat, pertimbangannya bukanlah Ridha Allah, tapi apakah ia suka atau tidak suka, yang berarti adalah nafsunya.

Seorang alim pernah berkata : “Barang siapa yang berbuat atau tidak berbuat semata-mata didorong rasa suka atau tidak suka maka ia adalah bayi.” Dan “bayi” adalah sosok yang memang tidak/belum mengenal apapun dalam hidup ini, termasuk mengenal Allah Ta’ala.

Jalan Mengenal Allah.

Saudaraku, perlu dimengerti sebelumnya bahwa piranti paling utama untuk bisa mengenal Allah secara baik dan benar, bukanlah akal atau indera kita, melainkan hati. Karena itu tidaklah heran kalau ada orang yang merasa telah mengenal Allah, tapi tidak membawa perubahan berarti dalam hidupnya. Penyebabnya ? apalagi kalau bukan karena ia mengenal Allah baru sebatas akal dan inderanya belaka, belum menghunjam masuk  ke dalam hati.

Sesungguhnya tahap paling awal untuk bisa mengenal apapun (termasuk mengenal Allah) adalah dengan “melihat” atau “mendengar”. Kalau yang ingin kita kenali adalah sesama makhluk, maka yang kita butuhkan adalah melihat mereka dengan “mata kepala” atau mendengar dengan “telinga kepala”. Namun untuk bisa mengenal Allah, tidaklah cukup kalau kita, secara an sich, hanya mengandalkan dua indera tadi, akan tetapi harus kita ikuti dengan membuka mata dan telinga hati.

Allah Ta’ala berfirman : “Dan sungguh telah kami jadikan isi jahanam itu sebagian besar dari jin dan manusia; mereka memiliki hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami, merekapun punya mata tapi tidak dipergunakan  untuk melihat, dan merekapun punya telinga tapi tidak dipergunakan untuk mendengar. Mereka itu bagai binatang, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf : 179)

Saudaraku,  sesungguhnya yang membuat mata tidak bisa melihat dan telinga tidak bisa mendengar, adalah karena hati manusia dibuai oleh kelalaian (lih. penghujung ayat di atas), dan hati manusia lalai karena tertutup berbagai kotoran (dosa) dan penyakit-penyakit yang bersarang di hati seperti sombong, ujub, riya, cinta dunia, benci, dengki, bakhil dan lain sebagainya, karena itu cara paling prinsip untuk bisa membuka mata dan telinga hati kita adalah  membersihkan segala kotoran yang menutupi hati dan mengobati penyakit-penyakitnya. Kotoran hati bisa bersih dengan taubat, dan penyakit hati bisa sembuh dengan jihadun nafsi (memerangi nafsu).

Prinsip paling utama dalam taubat adalah bagaimana kita bisa melakukan “inabah” (kembali) dari perilaku yang mukhalafat (bertentangan dengan Keinginan Allah) menuju perilaku yang muwafaqat (bersesuaian dengan Keinginan-Nya).

Sementara prinsip dalam jihadun nafsi adalah kita berjuang untuk bersikap mukhalafat dengan segala keinginan nafsu. Saat nafsu mengajak kita membenci seseorang, justru kita menyayanginya, saat nafsu mengajak kita berpuas diri dengan makanan, justru kita puasa,  saat nafsu menyuruh kita bakhil, justru kita banyak memberi, saat nafsu meninabobokan kita untuk tidur, justru kita bangkit untuk beribadah kepada-Nya dan seterusnya.

Saudaraku, ketika di hati ini sudah tidak ada lagi kotoran yang melekat, tidak ada pula penyakit yang hinggap, maka akan dengan sendirinya, apapun yang kita lihat dengan mata kepala, atau yang kita dengar dengan telinga kepala akan mengantarkan kita bisa “melihat” dan “mendengar” Keagungan dan Kebesaran Allah Ta’ala.

Sedemikian rupa Keagungan dan Kebesaran Allah itu merayapi sekujur hati, hingga tak terasa dari bibir ini keluar kata-kata : “Ya Allah, tiadalah Kau ciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, Jagalah kami dari adzab neraka.” (QS. Ali Imran : 191).

Ibnu ‘Athaillah berkata :

“Barang siapa yang melihat alam semesta ini, tapi ia tidak menemukan Keagungan dan Kekuasaan Allah di sana, maka sesungguhnya ia sama dengan melihat dalam gelap.”

Ya Allah, telah lama kami tidak mengenal-Mu, hanya dunia semata yang menyibukkan hati kami, hidupkan kembali  hati kami ya Allah dengan  cahaya Ma’rifah-Mu yang tiada ‘kan pernah padam. Jadikan hati kami, hati yang bisa “menyimpan” Keagungan dan Kebesaran-Mu, hingga kami tidak melihat dan mendengar apapun di dunia ini kecuali mengantarkan kami selalu ingat dengan-Mu, semakin dekat dengan-Mu dan semakin meyakini bahwa di dunia ini yang “ada” hanyalah Engkau. Wal Hamdu liLLahi Rabbil ‘Alamin.

Membangun Rumah Kepribadian (5)

MENGENAL ALLAH SEBAGAI FONDASI IMAN

Apakah Iman Itu ?

Saudaraku, banyak sekali orang yang mengaku bahwa dirinya adalah orang yang beriman, tapi dia tidak paham  apa itu beriman, ia juga tidak mengetahui fondasinya, juga konsekwensi dari pernyataan iman tersebut.

Secara etimologis iman memiliki makna percaya. Kalau seseorang mengaku beriman kepada Allah, berarti dia mempercayai-Nya, yakni percaya bahwa Allah itu ada, Dialah Pencipta alam semesta ini, Dia pula yang mengatur dan menjaga keberlangsungannya, Dia memiliki semua Sifat dan Nama yang sempurna, Dia adalah Sosok yang berpadu di dalam Diri-Nya segala Keagungan (Jalaliyah) dan Keindahan (Jamaliyah). Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, Dia Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana, Dia Maha Menyiksa lagi Maha Mencinta, Dia masukkan hamba-Nya yang durjana ke dalam neraka, Dia masukkan hamba-Nya yang taqwa ke dalam surga. Dalam Genggamannya nasib semua manusia terjaga. Tidak ada satu helai daun pun yang gugur kecuali atas seizin dan sepengetahuan-Nya.

Seadang secara terminologis iman memiliki makna “tashdiqun bil jinan wa iqrarun bil lisan wa amalun bil arkan”, yang artinya membenarkan (meyakini) dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.

Rasulullah SAW bersabda : “Iman itu bukanlah dengan angan-angan dan khayalan, namun sesuatu yang terhunjam kuat di dalam hati, lalu dibenarkan (dibuktikan) dengan perbuatan.”

Dari hadits Rasulullah SAW di atas kita memahami bahwa iman itu berawal dari keyakinan yang menghunjam di kedalaman hati yang kemudian mengejawantah dalam ujud sikap dan perbuatan.

Tanda Iman.

Saudaraku, karena itu tidak setiap orang begitu saja bisa mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada Allah. Benar atau tidaknya pengakuan iman itu akan sangat bergantung pada bukti yang dimilikinya. Orang yang benar-benar beriman kepada Allah, paling tidak, dia memiliki satu bukti yang bisa dipertanggung-jawabkan, yaitu mengenali-Nya secara baik dan benar (ma’rifatullah).

Orang yang beriman kepada Allah pasti dia mengenal-Nya, sebab bagaimana mungkin seseorang bisa percaya tanpa terlebih dahulu mengenal siapa yang dia percayai tersebut. Mengenal Allah merupakan fondasi kejujuran iman seseorang kepada-Nya. Tanpa ma’rifatullah, pengakuan iman seseorang kepada Allah patut diragukan bahkan dipersalahkan, sebagaimana seorang pengusaha yang begitu saja percaya kepada rekan bisnisnya, padahal ia belum mengenal secara baik siapa rekan bisnisnya tersebut.

Tanda Ma’rifatullah

Saudaraku, setiap orang juga boleh saja mengaku bahwa dirinya telah mengenal Allah, namun sejauh mana kejujuran pengakuan dirinya akan sangat bergantung pada bukti yang dimilikinya.

Seseorang dikatakan benar-benar mengenal Allah, manakala dia mampu mengemukakan dua bukti berikut :

  1. Memiliki rasa malu dan takut saat, atau bahkan sebelum, melakukan ma’shiyat.
  2. Mencintai Allah  di atas segala apapun yang ada.

Malu dan Takut Berbuat Ma’shiyat.

Orang yang benar-benar mengenal Allah, pasti dia memiliki rasa malu dan takut ketika hendak berbuat ma’shiyat, lebih-lebih kalau ia terlanjur melakukannya. Rasa malu dan takut ini mengalir begitu saja secara alami, tanpa dia harus berusaha keras untuk menghadirkannya. Mengapa bisa demikian ?

Syahdan, di sebuah kampung pinggiran kota, hidup seorang santri bernama Fulan. Dia dikenal sebagai santri yang alim, shalih lagi wira’i (selalu menjaga diri). Dia adalah penggiat segala aktivitas keagamaan di kampungnya.

Suatu hari si Fulan diajak keliling kota oleh kawan lamanya. Setelah berputar-putar sebentar, akhirnys si Fulan diampirkan ke sebuah tempat yang oleh masyarakat dikenal sebagai tempat ma’shiyat. Fulan pun protes, namun apa daya, dia tidak berdaya menghadapi bujukan kawan lamanya untuk masuk ke tempat ma’shiyat tersebut (habis dibantu oleh syetan juga sih).

Tiket sudah di tangan, tinggal satu langkah lagi si Fulan masuk ke tempat ma’shiyat tersebut. Namun secara tak disangka, Fulan bertemu dengan seseorang yang sangat dia kenal, dan orang itu pun sangat mengenalnya. Dia adalah tetangganya di kampung.

Perasaan apakah yang akan muncul begitu Fulan bertemu dengan tetangganya  di tempat ma’shiyat tersebut ?

Ya, malu dan takut. Dia malu karena ketahuan berada di tempat ma’shiyat, dia takut kalau-kalau tetangganya akan bercerita kepada orang-orang di kampungnya.

Sekarang, bayangkanlah seandainya saat si Fulan hendak masuk ke tempat ma’shiyat tadi, dia bertemu dengan banyak orang, tapi tidak ada satu pun yang mengenal dan dikenal Fulan. Adakah Fulan merasa malu dan takut berada di dalamnya ? Jawabannya : “Tidak !”.

Kalau begitu, perasaan malu dan takut berbuat ma’shiyat akan sangat bergantung pada sejauh mana seseorang itu mengenal dan dikenal.

Kaidah ini berlaku pula antara kita dengan Allah.

Allah pasti mengenal kita, tapi tidak setiap kita mengenal Allah. Kalau benar-benar kita mengenal Allah, maka perasaan malu dan takut itu pasti akan hadir mengalir, tanpa kita kuasa menghalanginya, setiap kali kita mema’shiyati-Nya.

Adakah kita telah seperti ini ?

Rasulullah SAW bersabda : “Kalau kebaikanmu membuatmu bahagia dan kejelekanmu membuatmu susah, maka kamu adalah seorang mukmin.” (HR. Turmudzi)

Mencintai Allah

Saudaraku, mencintai Allah merupakan bukti lain bahwa seseorang telah mengenal Allah dengan baik dan benar. Mengapa ? Sebab orang yang benar-benar mengenal Allah, maka tidak ada yang dia temukan pada Diri Allah kecuali kebaikan. Itulah yang membuatnya tidak punya pilihan lain kecuali mencintai-Nya.

“Apa buktinya bahwa seseorang telah mencintai Allah ?”

“Salah satunya dia akan merasa sangat bahagia bila suatu saat  Allah memanggil-manggil dirinya.”

“Kapan ?”

“Ketika ia mendengar  suara adzan.”

Ya, paling kurang lima kali sehari Allah  memanggil-manggil kita untuk datang ke “Rumah-Nya”, bersimpuh ke Haribaan-Nya, mengiba dalam dekapan Kasih-Nya.

Dalam ungkapan lain, panggilan adzan sesungguhnya bermakna Allah datang bertamu ke jerambah hati kita. Kalimah-kalimah adzan adalah ketukan Allah ke pintu hati kita. Manakala pintu hati kita buka, Allah pun pasti akan memasukinya. Bila tidak, maka ini adalah sebuah keanehan sekaligus kenaifan.

Pernahkah suatu saat kita kedatangan tamu di rumah ?

Katakan waktu itu kita sedang menerima seorang tamu. Kita sedang berbincang-bincang dengannya. Tiba-tiba pintu rumah kita diketuk lagi oleh  seseorang. Tok tok tok…“Assalamu’alaikum !” Serunya.

“Mendengar suaranya, ini pasti kedua orang tua saya.” Bisik kita pelan

Namun tanpa membuka pintu kita pun berujar : “Ini Bapak dan Ibu ya ? Aanu…, Pak Bu, saya di dalam sedang ada tamu, kawan kuliah saya. Silakan Bapak dan Ibu menunggu dulu di luar. Nanti kalau tamu saya ini pergi, saya baru menemui Bapak Ibu.”

Adakah diantara kita yang punya nyali berbuat seperti ini kepada kedua orang tua ?

Kalau seandainya ada, maka komentar apakah yang kita tunjukkan kepadanya ?

“Bedebah kau !”

“Kurang ajar kamu!”

“Keparat  !”

Itulah umpatan kasar yang akan tertuju kepadanya. Betapapun kita tentu lebih suka kalau seandainya umpatan tersebut lebih lembut,  bijak lagi menyadarkan : “Masya Allah, kenapa kamu begitu ? Bukankah beliau kedua orang tuamu, dari jauh beliau datang membawa letih dan lelah agar bisa menengokmu, begitu tiba kamu menyia-nyiakannya ?”

Sekarang kita mencoba melihat diri ini. Katakanlah suatu saat kita sedang melihat televisi. Acaranya sinetron atau pertandingan bola. Di saat kita melihat acara tersebut, tiba-tiba terdengar suara adzan dari masjid terdekat. Namun suara adzan itu tak membuat kita bergeming dari hadapan televisi. Suara adzan itu kita biarkan berlalu tanpa sedikit pun mengusik diri, maka sesungguhnya sama dengan kita berkata : “Ya Allah, Engkau datang kepada kami dalam keadaan kami sedang mempunyai tamu. Itu pemain sinetron di TV, itu pemain bola di TV. Kami sedang menemui mereka ya Allah. Kau tungguh dulu di luar. Kelak kalau tamu-tamu ini sudah pergi, baru saya menemui-Mu ya Allah.” ?

Kalau kita berani menyampaikan komentar pahit terhadap teman yang tidak segera menemui kedua orang tuanya di atas, maka beranikah kita berkomentar pahit terhadap diri sendiri, ketika kita tidak segera “menemui-Nya”, saat Dia bertamu kepada kita ?

Ya Allah, maafkan kami kalau ternyata selama ini kami belum sepenuhnya mengenal-Mu, mengenal jalan pulang kepada-Mu. Ampuni pula kalau selama ini hati kami masih diliputi oleh kesemuan  cinta dunia.

Ya Allah, hidupkan hati kami dengan kemuliaan hakiki dalam hidup kami di dunia ini, yaitu kemuliaan bisa mengenal-Mu dan mencintai-Mu.

Leave a comment