Membangun Rumah Kepribadian 3

IMAN FONDASI RUMAH KEPRIBADIAN

“Kalau kebaikanmu membuatmu bahagia dan kejelekanmu membuatmu susah, maka kamu adalah seorang mukmin.” (HR. Turmudzi).

Apakah Iman Itu?

Saudaraku, banyak sekali orang yang mengaku bahwa dirinya adalah orang beriman, tetapi tidak paham apa itu beriman, ia tidak mengetahui fondasinya, juga konsekwensi dari pernyataan iman tersebut.

Secara etimologis iman memiliki makna percaya. Kalau seorang mengaku beriman kepada Allah, berarti ia mempercayai-Nya, yakni bahwa Allah itu ada, Dia-lah pencipta alam semesta, Dia juga yang mengatur dan menjaga keberlangsungannya. Dia memiliki semua sifat  dan nama yang sempurna, Dia adalah sosok yang yang berpadu di dalam Diri-Nya segala Keagungan (Jalaliyah) dan Keindahan (Jamaliyah). Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, Dia Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana, Dia Maha Menyiksa lagi Maha Mencinta, Dia masukkan hamba-Nya yang durjana ke dalam neraka dan Dia masukkan hamba-Nya yang taqwa ke dalam syurga. Dalam genggaman-Nya nasib semua manusia terjaga. Tidak ada satu helai daun pun yang gugur kecuali atas seizin dan sepengetahuan-Nya.

Sedang secara terminologis iman memiliki makna “tashdiqun bil jinan wa iqrarun bil lisan wa ‘amalun bil arkan”, yang artinya membenarkan (meyakini) dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Rasulullah SAW bersabda: “Iman  itu bukanlah dengan angan-angan dan khayalan, namun sesuatu yang terhujam kuat di dalam hati, lalu dibenarkan (dibuktikan) dengan perbuatan.”

Dari hadits Rasulullah SAW di atas kita memahami bahwa iman itu berawal dari keyakinan yang menghunjam di kedalaman hati yang kemudian mengejawantah dalam wujud sikap dan perbuatan.

Tanda Iman

Saudaraku, karena itu tidak setiap orang begitu saja mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada Allah. Benar atau tidaknya pengakuan iman itu akan sangat bergantung pada bukti yang dimilikinya. Orang yang benar-benar beriman kepada Allah, paling tidak, dia memiliki satu bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, yaitu mengenali-Nya secara baik dan benar (ma’rifatullah).

Orang yang beriman kepada Allah pasti dia mengenal-Nya, sebab bagaimana mungkin seorang bisa percaya tanpa terlebih dahulu mengenal siapa yang dia percayai tersebut. Mengenal Allah merupakan fondasi kejujuran iman seseorang  kepada-Nya. Tanpa ma’rifatullah, pengakuan iman seseorang kepada Allah patut diragukan bahkan dipersalahkan, sebagaimana seorang pengusaha yang begitu saja percaya kepada rekan bisnisnya,  padahal ia belum mengenal secara baik siapa rekan bisnisnya itu.

MENGENAL ALLAH SEBAGAI FONDASI IMAN

Tanda Ma’rifatullah

Saudaraku, setiap orang juga boleh saja mengaku-ngaku bahwa dirinya telah mengenal Allah, namun sejauh mana kejujuran pengakuan dirinya  akan sangat bergantung pada bukti yang dimilikinya. Seorang dikatakan benar-benar mengenal Allah, manakala dia mampu mengemukakan dua bukti berikut:

  1. Memeliki rasa malu dan takut saat atau bahkan sebelum melakukan ma’shiyat.
  2. Mencintai Allah di atas segala apapun yang ada.

Yang pertama, Malu dan takut berbuat Ma’shiyat

Orang yang benar-benar mengenal Allah, pasti dia memiliki rasa malu dan takut ketika hendak berbuat ma’shiyat, lebih-lebih kalau ia terlanjur melakukannya. Rasa malu dan takut ini mengalir begitu saja secara alami, tanpa dia harus berusaha keras untuk menghadirkannya. Mengapa bisa demikian?.

Syahdan, di sebuah kampung pinggiran kota, hidup seorang santri bernama Fulan. Dia dikenal sebagai santri yang alim, shalih lagi wira’i (selalu menjaga diri), dia adalah penggiat aktivitas keagamaan di kampungnya. Suatu hari si fulan diajak keliling  oleh kawan lamanya, setelah berputar-putar sebentar akhirnya si fulan diampirkan kesebuah tempat yang oleh masyarakat dikenal sebagai tempat ma’shiyat. Fulan pun protes, namun apa daya dia tidak berdaya menghadapi bujukan kawan lamanya untuk masuk ke tempat ma’shiyat tersebut (habis dibantu oleh syetan juga sih). Tiket sudah ditangan, tinggal satu langkah lagi si fulan masuk ketempat ma’shiyat tersebut. Namun secara tak disangka, fulan bertemu dengan seorang yang sangat ia dikenal, dan orang itupun sangat mengenalnya, dia adalah tetangganya di kampung. Perasaan apakah yang akan muncul begitu fulan bertemu dengan tetangganya di tempat ma’shiyat tersebut?. Ya betul, rasa malu dan takut. Dia malu karena ketahuan berada ditempat ma’shiyat, dia takut kalau-kalau tetangganya akan bercerita kepada orang-orang dikampungnya.

Sekarang bayangkanlah seandainya si fulan masuk ketempat ma’shiyat tadi, dia bertemu dengan banyak orang, tapi tidak ada satupun yang mengenal dan dikenal si fulan. Adakah fulan merasa malu  dan takut berada di dalamnya? Jawabannya: “Tidak!”.

Kalau begitu perasaan malu dan takut berbuat ma’shiyat akan sangat bergantung pada sejauh mana seseorang itu mengenal dan dikenal. Kaidah itu berlaku pula antara kita dengan Allah. Allah pasti mengenal kita, tetapi tidak setiap kita mengenal Allah. Kalau benar-benar kita mengenal Allah, maka perasaan malu dan takut pasti akan hadir mengalir tanpa kita kuasa menghalanginya, setiap kita mema’shiyati-Nya. Adakah kita sudah seperti ini?

Rasulullah SAW bersabda: “Kalau kebaikanmu membuatmu bahagia dan kejelekanmu membuatmu susah, maka kamu adalah seorang mukmin.” (HR. Turmudzi).

Bukti yang kedua adalah, Mencintai Allah

Saudaraku, mencintai Allah merupakan bukti bahwa seseorang telah mengenal Allah dengan baik dan benar. Mengapa? Sebab orang yang benar-benar mengenal Allah, maka tidak ada yang dia temukan pada Diri Allah  kecuali kebaikan. Itulah yang membuatnya tidak punya pilihan lain kecuali mencintai-Nya.

“Apa buktinya bahwa seseorang telah mencintai Allah?”

“Salah satunya dia akan merasa sangat bahagia bila suatu saat Allah memanggil-manggil dirinya.”

“Kapan ?”

“Ketika ia mendengar suara adzan.”

Ya, paling kurang lima kali sehari Allah memanggil-manggil kita untuk datang ke “Rumah-Nya”. Bersimpuh ke Haribaan-Nya, mengiba dalam dekapan kasih-Nya.

Dalam ungkapan lain, panggilan adzan sesungguhnya bermakna Allah datang bertamu ke jerembab hati kita. Kalimah-kalimah adzan adalah ketukan Allah kepintu hati kita. Manakala pintu hati kita buka, Allah pun pasti akan memasukinya, bila tidak, maka ini adalah sebuah keanehan sekaligus kenaifan.

Pernahkan suatu saat kita kedatangan tamu di rumah?

Katakan waktu itu kita sedang menerima seorang tamu. Kita sedang berbincang-bincang dengannya. Tiba-tiba pintu rumah kita diketuk lagi oleh seseorang. Tok tok tok … “Assalamu’alaikum!” serunya “Mendengar suaranya, ini pasti kedua orang tua saya.” bisik kita pelan. Namun tanpa membuka pintu kita pun berujar: “ini Bapak dan Ibu yaa? A…anu…, Pak Bu, saya di dalam sedang ada tamu, kawan kuliah saya silakan Bapak dan Ibu menunggu dulu di luar, nanti kalau tamu saya ini pergi, saya baru menemui Bapak dan Ibu.” Adakah diantara kita yang punya nyali berbuat seperti ini kepada kedua orang tuanya?. Kalau seandainya ada, maka komentar apakah yang kita tunjukkan pada orang tersebut?. “Bedebah kau !”, “Kurang ajar kamu!”, “Keparat !”. Itulah umpatan kasar yang akan tertuju kepadanya. Betapapun kita tentu lebih suka kalau seandainya umpatan tersebut lebih lembut, bijak lagi menyadarkan: “Masya Allah, kenapa kamu begitu?, bukankah beliau kedua orang tuamu. Dari jauh beliau datang membawa letih dan lelah agar bisa menengokmu, begitu tiba kamu menyia-nyiakannya?”

Sekarang mari kita melihat diri ini. Katakanlah suatu saat kita sedang melihat televisi, acara sinetron atau pertandingan bola. Disaat kita melihat acara tersebut, tiba-tiba terdengar adzan dari masjid terdekat. Namun suara adzan itu tak membuat kita bergeming dari hadapan televisi, suara adzan itu kita biarkan berlalu tanpa sedikitpun mengusik diri, maka sesungguhnya sama dengan kita berkata: “Ya Allah, Engkau datang kepada kami dalam keadaan kami sedang mempunyai tamu, itu pemain sinetron di TV, itu pemain bola di TV. Kami sedang menemui mereka ya Allah. Kau tunggu dulu di luar, kelak kalau tamu-tamu ini sudah pergi, baru saya menemui-Mu ya Allah.”

Kalau kita berani menyampaikan komentar pahit terhadap teman yang tidak segera menemui kedua orang tuanya di atas, maka beranikah kita berkomentar pahit terhadap diri sendiri ketika kita tidak segera “menemui-Nya”, saat Dia bertamu kepada kita??.

Ya Allah, maafkanlah kami kalau selama ini kami belum sepenuhnya mengenal-mu, mengenal jalan pulang kepada-Mu. Ampuni pula kalau selama ini hati kami masih diliputi oleh kesemuan cinta dunia. Ya Allah, hidupkan hati kami dengan kemuliaan hakiki dalam hidup kami di dunia ini, yaitu kemuliaan bisa mengenal-Mu dan mencintai-Mu.

Responses

  1. Sangat bermanfaat buat saya pribadi

  2. Terima kasih…


Leave a comment