Membangun Rumah Kepribadian 10

Seri Membangun Rumah Kepribadian (10)

BERSAHABAT DENGAN NAFSU.

Oleh : Syatori Abdul Rauf

Sebagaimana sudah kita pahami kalau hati adalah raja bagi tubuh manusia, dan tubuh manusia itu sendiri hanyalah perajurit bagi hati (junudul qalbi), yang sewaktu-waktu harus siap diperintah oleh sang raja hati melalui keinginan-keinginan yang mengalir darinya.

Dalam menjalankan tugas-tugas hariannya seorang raja biasanya didampingi oleh hulu balang alias penasihat, yang akan memberi masukan-masukan kepada sang raja agar kebijakan yang ditetapkan sang raja bermanfaat buat seluruh rakyat.

Begitu juga halnya hati. Dia bahkan, memiliki dua penasihat : akal dan nafsu. Akal bagi hati adalah penasihat resmi, penasihat yang memiliki kekuatan ilmu, yang karenanya akan selalu memberikan nasihat-nasihat yang ilmiyah lagi benar kepada hati. Sementara nafsu adalah penasihat tidak resmi, karena ia tidak memiliki SK khusus dan resmi bahwa ia dihadirkan untuk menjadi penasihat bagi hati. Ia adalah penasihat yang melantik dirinya sendiri, yang dengan kekuatan hawa yang dimilikinya dia berusaha mempengaruhi hati sekaligus menguasainya.

Karena itu selalu saja terjadi perselisihan antara dua sosok penasihat hati di atas. Bahkan bantai membantai  pun kerap terjadi diantara keduanya. Putih kata akal, hitam kata nafsu, baik kata akal buruk kata nafsu, ke surga kata akal ke neraka kata nafsu.

Kalau begitu suara siapakah yang akan didengar oleh hati, akal atau nafsu ? Tentu saja siapa diantara keduanya  yang lebih lantang suaranya, dialah yang akan didengar hati.

Oleh karena itu perjuangan membebaskan hati dari pengaruh nafsu harus menempuh dua langkah yang harus dilakukan secara berbarengan, yaitu melirihkan suara nafsu dan menguatkan suara akal.

Program Pertama : Melirihkan Suara Nafsu

Menurut gsris asalnya nafsu adalah musuh bagi kita, namun pada perkembangannya bisa saja  dia menjadi kawan, bahkan sahabat, bagi kita. Dia akan menjadi musuh manakala kita memanjakannya sedemikian rupa, memperturutkan seluruh kehendak dan keinginannya. Dan dia akan menjadi kawan yang baik manakala kita mampu menundukkan dan mendudukkannya secara proporsional, sesuai dengan job discription yang sudah Allah tetapkan untuknya.

Perjuangan untuk membuat nafsu menjadi kawan kita yang baik bukanlah perjuangan yang ringan. Sebuah riwayat bahkan pernah menyataakan bahwa perjuangan menundukkan nafsu lebih berat ketimbang perjuangan menundukkan musuh di medan perang.

Para ulama ahli hikmah telah merumuskan satu kata kunci untuk  membuat nafsu bisa menjadi kawan baik kita. Kata kunci itu adalah riyadhah (latihan). Dalam riyadhah ada beberapa langkah alfabetik (al abjadiyatul khuthuwwat) yang harus kita tempuh secara berurutan, sebab ketika kita mengayuh bahtera riyadhah secara tak terprogram, maka riyadhah hanya akan melahirkan  benang-benang kusut, yang tidak cuma akan menyulitkan langkah-langkah kita ke depan, tapi juga membuat kaki harus terserimpung  sehingga kita harus jatuh bangun berulang kali.

Langkah-langkah alfabetik dalam riyadhah tersebut adalah :

  1. Memahami hakikat nafsu.
  2. Memahami  karakter dasar dan kesenangan nafsu
  3. Mengetahui pembagian nafsu beserta ciri-cirinya.
  4. Menentukan bentuk riyadhah yang sesuai dengan kondisi kita.

Memahami   Nafsu

Sudah kita sampaikan kalau secara asal, nafsu adalah pembisik busuk bagi manusia, yang cenderung mendorong manusia untuk melakukan keburukan. Allah Ta’ala berfirman :

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS. Yusuf : 53)

Keberadaan nafsu di tubuh manusia adalah ujian baginya. Barang siapa yang selalu lolos dari  bujukan nafsu serta jebakannya, maka berarti ia telah lulus mengikuti ujian hakiki dalam hidup ini, yakni ujian melawan nafsu dengan seluruh kehendaknya. Sementara mereka yang selalu gagal atau jatuh bangun dalam menghadapinya, maka berarti mereka belum diberi kesempatan untuk lulus.

Nafsu yang bersemayam di tubuh manusia selalu ingin mengambil bagian dari seluruh apapun yang dilakukan olehnya. Tidak ada satupun perbuatan manusia yang terbebas dari pengaruh nafsu, meskipun yang dilakukan oleh manusia adalah kebaikan. Hanya saja keterlibatan nafsu dalam amal-amal baik manusia itu sangat halus lagi tersembunyi, sehingga banyak manusia yang tidak menyadarinya, sementara keterlibatan dia dalam amal-amal buruk manusia itu nyata, pasti dan jelas.

Nafsu adalah musuh yang pantang mundur ke belakang apalagi menyerah. Dia adalah musuh yang sangat gigih, strategi perangnya piawai, memiliki senjata-senjata rahasia yang hanya bisa diketahui oleh yang sudah benar-benar ma’rifah (mengenal) Allah.

Nafsu manusia itu tidak ingin dibebani, dikekang, dibatasi dengan berbagai aturan, undang-undang ataupun hukum. Dia ingin bebas, sebebas-bebasnya, semau gue. Dia bahkan punya obsesi : apapun yang dilakukan oleh manusia harus merupakan representasi dari keinginan dan kesenangannya semata.

Ketika Abul Hayyaj al Asady sedang thawaf mengelilingi Ka’bah, beliau melihat ada seorang laki-laki yang terus menerus berdo’a :

“Ya Allah peliharalah diriku dari kebakhilan nafsuku.”

Abul Hayyaj pun bertanya : “Mengapa engkau berdoa seperti itu ?” Laki-laki itu pun menjawab : “Sungguh apabila saya terjaga dari kebakhilan nafsuku, maka aku tidak akan mencuri, berzina dan berbuat dosa.” Tiba-tiba saja Abul Hayyaj menyadari kalau laki-laki tersebut adalah Abdur Rahman bin ‘Auf  radhiyallahu ‘anhu

Memahami Karakter Dasar Nafsu

Dr. Majdi Al Hilali dalam buku beliau Fal Nabda’ bi Anfusia, menyebutkan ada tiga karakter dasar nafsu, yaitu : jahlun, bukhlun dan dhulmun. Di atas ketiganya inilah nafsu meletak-dasarkan seluruh  bisikan-bisikannya terhadap hati. Sehingga setiap perbuatan jelek yang lahir akibat bisikan nafsu, selalu memiliki  salah satu dari tiga karakter di atas.

Jahlun artinya bodoh, yakni setiap perbuatan yang dilakukan atas dasar nafsu itu selalu memiliki nuansa kebodohan, tidak ilmiyah dan tidak sejalan dengan akal sehat serta tidak direnungkan terlebih dahulu akibatnya.

Bukhlun artinya kikir alias egois, mau enak sendiri tidak mau peduli dengan perasaan orang lain. Setiap perbuatan yang didasarkan pada sifat-sifat tadi, berarti ia adalah hasil bisikan nafsu.

Dhulmun artinya dzalim, aniaya, yakni perbuatan tersebut dilakukan  tidak pada tempat atau waktu yang semestinya.

Setiap perbuatan yang memiliki tiga karakter di atas hanya akan menyeret pelakunya ke jurang kehinaan di dunia ini juga kesengsaraan dan penderitaan yang berkepanjangan di neraka nanti

“Maka barang siapa yang melampaui batas dan lebih memilih dunia (atas akhirat), maka neraka jahimlah tempat kembalinya. Dan barang siapa yang takut terhadap kemuliaan Rabb-nya dan menahan nafsu dari keinginannya maka surgalah tempat kembalinya.” (An Nazi’at : 37-39)

Untuk memastkan  apakah perbuatan yang kita lakukan itu merupakan buah bisikan nafsu atau bukan, maka terlebih dahulu kita harus menjawab 3 pertanyaan berikut :

  1. Mengapa saya melakukannya ?
  2. Untuk apa saya melakukannya ?
  3. Untuk siapa saya melakukannya ?

Kalau jawaban pertanyaan pertama bersifat ilmiyah, logis syar’iyah (sesuai dengan logika syari’at) dan sudah diketahui akibat (hasil yang diperoleh) dari perbuatan tersebut. Kemudian  jawaban kedua bersifat ijtima’iyah (ada makna dan nilai sosial yang menyertainya, paling tidak dalam tiga hal, yaitu : tidak merugikan sesama, menyenangkan sesama dan memberi manfaat terhadap sesama). Sedangkan jawaban ketiga bersifat ukhrawiyah yakni hanya untuk Allah dan mendapat Keridhaan-Nya, maka sudah dipastikan  perbuatan tersebut bukan hasil bisikan nafsu.

Namun bila jawabannya berlawanan dengan yang tersebut di atas, maka berarti perbuatan tersebut terjadi sebagai hasil bisikan nafsu.

Sebagai misal kita ingin makan, maka sebelum makan kita harus menjawab terlebih dahulu tiga pertanyaan di atas : mengapa, untuk apa dan untuk siapa saya makan ? Kalau seandainya jawabannya adalah :   saya makan karena ada makanan, saya makan biar saya puas dan senang, saya makan agar tidur saya  pulas, atau agar saya bisa bergadang malam ini, maka ketiga jawaban di atas mengindikasikan bahwa keinginan untuk makan di atas hanyalah keinginan nafsu belaka.

Adapun bila jawaban dari ketiga pertanyaan di atas adalah : saya makan karena saya lapar, saya makan biar saya bisa menolong orang lain, saya makan biar saya bisa beribadah kepada Allah lebih khusyu’ dan lebih bersemangat, semata agar saya bisa menggapai Ridha-Nya, maka keinginan untuk makan seperti ini bukanlah hasil bisikan  nafsu.

Ya Allah, karuniakan untuk kami luasnya ma’rifah agar kami bisa mengenal-Mu, mengenal jalan pulang kepada-Mu dan mengenal serta merasakan berbagai tipu daya nafsu  yang menjerumuskan.

Memahami Kesenangan Nafsu

Dalam bahasa umum kesenangan nafsu sering disebut hawa nafsu. Kesenangan nafsu selalu saja bernuansakan syahwat duniawi, seperti senang terhadap makanan, minuman, pakaian, kendaraan, rumah tinggal, perhiasan, hidup santai lagi bebas, pujian, kehormatan dan lain sebagainya.

Allah Ta’ala berfirman dalam Ali Imran : 14.

زين للناس حب الشهــوت من النساء و البنين و القنـطير المقنطرة

من الذهب و الفضة و الخيل المسومة والأ نعم و الحرث.

ذلك  متع الحيوة الدنيا و الله عنده حسن المئاب

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di Sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Namun betapapun nafsu seseorang begitu sangat menyenangi zinatul hayatid dunya (perhiasan kehidupan dunia) di atas, rasa senang nafsu tersebut akan selalu dibatasi oleh satu diantara tiga karakter berikut, yaitu : sedikit, sebentar dan sementara. Artinya perhiasan/kesenangan dunia ini akan terasakan nikmat dan lezatnya oleh nafsu manakala jumlahnya sedikit, waktunya sebentar atau sifatnya sementara. Jika melebihi tiga batasan ini, maka perhiasan/kesenangan dunia  justru akan mendatangkan penderitaan belaka bagi nafsu, yang karenanya dia pasti akan menolaknya, betapapun dia sangat menginginkannya.

Begitulah nafsu manusia, betapapun ia sangat menyukai es krim semisal, ia pasti akan menolak ketika disuruh menghabiskan satu ember es krim sekaligus, sebagaimana dia pun pasti akan jengkel bahkan tersiksa ketika ada orang yang memujinya selama lebih dari satu jam. Pun demikian halnya nafsu akan bosan memandangi sebuah lukisan indah selama berjam-jam terus menerus.

Itulah hawa nafsu terhadap dunia. Ia hanya akan mendatangkan kenikmatan bagi siapapun ketika dibatasi oleh tiga karakter diatas. Artinya pula kesenangan nafsu  terhadap dunia itu tidak seberapa, tapi akibat buruk yang ditimbulkannya justru bertolak belakang dengan karakter kesenangannya. Siapapun yang suka memanjakan  bisikan dan kehendak nafsu, ia akan menanggung akibat buruk yang tidak sedikit, tidak sebentar dan tidak sementara.

Seseorang yang memanjakan nafsu rakus terhadap makanan semisal, mendorong dirinya untuk mencuri sebungkus makanan, dia pun memakannya, dia pun merasakan lezatnya. Namun lezatnya makanan tersebut sangatlah sedikit, sebentar lagi sementara, yakni hanya ketika makanan tersebut singgah di lidah kemudian melewati tengorokan. Sementara akibat buruk yang ditimbulkannya justru berlawanan dengan ketiganya, yaitu : banyak, lama dan selamanya.

Sebuah riwayat pernah mengatakan bahwa orang yang mengisi perutnya dengan makanan atau minuman yang haram, maka amal ibadahnya tidak akan diterima selama 40 hari 40 malam, dan di akhirat nanti ia lebih pantas masuk neraka. Na’udzu Billahi min Dzalik.

Namun betapapun kita mengetahui kalau kesenangan (hawa) nafsu itu bersifat sedikit, sebentar dan sementara, sementara akibat yang ditimbulkannya justru sebaliknya, entah kenapa, kenyataannya tetap saja lebih banyak yang akhirnya tunduk bersimpuh di hadapan keinginan nafsunya.  Oleh karena itu tidak ada upaya yang lebih efektif menundukkan nafsu ini kecuali memerangi seluruh keinginannya. Para ulama ahli hikmah menyebutnya sebagai jihadun nafsi atau mujahadatun nafs.

Jihadun Nafsi.

Dulu, saat Rasulullah SAW dan sahabatnya baru saja usai menyelesaikan tugas jihad di kancah Badar, saat mereka berjalan beriringan pulang menuju Madinah, Rasulullah SAW tiba-tiba bersabda : “Kita baru saja menyelesaikan jihad kecil, menuju jihad yang lebih besar.” Para sahabat terperanjat. Rasul, sosok agung yang sangat mereka cintai, baru saja menyebut jihad (perang) Badar hanyalah jihad kecil, sementara mereka sendiri merasakan jihad Badar adalah jihad pertaruhan akan masa depan mereka, juga masa depan Islam dien mereka. Namun Rasul SAW menyebutnya itu hanyalah jihad kecil. Ada jihad yang lebih besar lagi. “Apakah jihad akbar (jihad yang lebih besar) itu ya Rasul ?”  Beliau menjawabnya : “Dia adalah jihadun nafsi, jihad melawan nafsu.”

Sungguh benar Rasulullah SAW, jihad melawan nafsu bukanlah jihad yang ringan, karena ia memiliki makna memerangi diri sendiri. Apakah ada orang yang mau memerangi dirinya sendiri ?

Karena jihadun nafsi adalah memerangi diri sendiri, maka setiap mujahid harus membekali dirinya dengan  tiga bekal sekaligus : tekad, ilmu dan (sedikit) nekad. Dengan tekad kita akan memiliki nyali dan keberanian untuk setiap saat memancing dan menantang sang “musuh” nafsu untuk keluar dari persembunyiaannya. Dengan ilmu kita punya taktik dan strategi yang jitu untuk melumpuhkannya tanpa harus menguras energi secara berlebihan. Sementara (sedikit) nekad dibutuhkan agar kita tidak “mengasihani” diri sendiri, persisnya tidak menaruh rasa kasihan terhadap nafsu, sebab bagaimana mungkin kita bisa menundukkan musuh, kalau kita menaruh kasihan terhadapnya.

Dalam terminologi para ulama ahli hikmah, realisasi jihadun nafs ini diimplementasikan dalam bentuk riyadhatun nafsi. Dalam riyadhatun nafsi ini kita dituntut untuk pertama kali membuat daftar prioritas nafsu-nafsu yang ingin kita perangi, sebab kita memang tidak mungkin menundukkan seluruh nafsu dalam satu kali sabetan pedang.

Daftar prioritas tersebut dimulai dari nafsu yang paling ringan/kecil menuju nafsu-nafsu yang lebih berat/besar, istilahnya dari para kopralnya terlebih dahulu menuju para jenderalnya, setelah itu kita baru menyusun strategi perang macam apa yang kita pergunakan, mulai dari strategi memancing kemunculannya, untuk kemudian mendesaknya menuju jebakan-jebakan yang sudah disiapkan, ketika dia sudah masuk dalam jebakan kita, maka saatnya kita harus membuatnya babak belur dan tidak berdaya.

Memerangi nafsu thama’ (serakah) terhadap makanan semisal. Kita bisa melakukannya dengan terlebih dahulu, secara sengaja, menghadirkan atau membeli makanan yang paling kita sukai, sate misalnya. Begitu nasi berlauk sate itu terhidang di hadapan kita, munculkan tekad untuk hanya memakan nasi dan tidak sekali-kali menyentuh, apalagi mengambil satenya. Lakukan terus menerus sampai nasi di piring habis tandas, sementara si lauk sate masih utuh. Pandanglah terus menerus sang lauk sate, sampai pada kondisi kita tidak sanggup lagi menahan “godaannya”, barulah kita mengambilnya untuk kemudian kita berikan kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman :

لن تنال البر حتى تنفقوا مما تحبون

“Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebaikan (secara sempurna) sehingga kalian menginfaqkan sebagian yang kamu senangi…..” (Ali Imran : 92)

Setelah sate milik kita berpindah tangan, tunggulah sampai dia memakan  sate pemberian kita tersebut. Pandanglah lekat-lekat saat ia menyantapnya. Dan pergilah ketika ia sudah menghabiskannya. Setelah itu amatilah perasaan apa yang mengalir dari diri kita. Kecewa? Ya, kecewa. Siapakah yang kecewa ? Nafsu !

Ketika kita telah membuat nafsu kecewa berarti kita telah memenangkan peperangan ini pada babak pertama. Lanjutkan terus menerus pada babak-babak selanjutnya, sampai rasa kecewa itu hilang ketika kita memberikan makanan yang kita sukai tersebut. Hilangnya rasa kecewa dalam diri kita ketika kita melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginan nafsu itu menunjukkan nafsu sudah tunduk bersimpuh di hadapan nurani. Al Hamdulillah. Saatnya kini kita melangkah pada daftar prioritas nafsu berikutnya yang harus kita perangi. Terus menerus, sampai seluruhnya tunduk bersimpuh di hadapan  hati nurani kita.

Ya Allah, bersihkan kami dari segala noda hitam nafsu yang melumuri hati ini, selamatkan kami semua dari segala bujukanya, kuatkan kami agar kami bisa menundukkannya bimbing kami agar kami bisa menguasainya dan bebaskan kami dari semua kebusukannya agar kami bisa melabuh damai dalam Rengkuhan Ridha-Mu.

Responses

  1. li


Leave a comment