Membangun Kecerdasan Hati (5)

>> Taujih

Garam Itu Asin

Seni Melapangkan Hati.

Oleh Ustadz Drs. H. Syathori Abdul Rauf

Kalam Hikmah :

“Hati yang bersih adalah hati yang luas dan lapang,

yang selalu menerima apapun yang diperbuat orang kepadanya.”

“Garam itu asin. Kenapa?” Jawabannya : “Itu taqdir !”. Ya, memang sudah menjadi ketentuan Alloh kalau garam itu rasanya asin, tidak manis, pahit, asem atau yang lain.

Tentu ada maksud tersendiri kenapa rasa garam yang dipilih oleh Alloh adalah asin.

Semoga uraian berikut mengantarkan kita memahami rahasia di balik asinnya garam, khususnya dalam ikhtiyar kita melapangkan hati dan jiwa kita.

Antara Garam dan Laut

Saudaraku, sebagaimana kita ketahui bahan dasar membuat garam adalah air laut, dan air laut, sesuai namanya, hanya bisa kita peroleh dari laut. Dan di dunia ini tidak ada tempat yang luas lagi lapang kecuali laut.

Saat kita memandang laut, kita merasakan kelapangan serasa menggelayuti langit hati kita, membuat hati ini terasa bagai laut yang dalam tiada bertepi.

Saat kita berjalan menyelusuri pantai, kita pun menemukan banyak sekali muara, tempat air sungai melabuhkan dirinya.  Skenario awal muara adalah tempat serah terima “air” antara sungai dan laut, sungai menyerahkan air dan laut menerimanya, namun pada prakteknya sungai tidak hanya menyerahkan air, tapi juga menyerahkan segala ikutannya, seperti sampah, limbah bahkan kotoran. Dan laut tidak pernah menyortirnya, apalagi menolaknya, semuanya ia terima tanpa kecuali.

Saudaraku, begitulah sesungguhnya sikap orang yang berhati lapang, ia tidak hanya menerima orang lain karena kebaikannya semata, ia pun akan siap menerima dengan ikhlas penuh kelapangan segala kejelekan dan keburukan mereka. Baginya, kejelekan dan keburukan orang bukanlah problem atau masalah, melainkan potensi untuk menaikkan nilai dirinya.

Sanggupkah kita ?

Kecerdasan Laut.

Saudaraku, di balik luas dan lapangnya laut disana tersimpan selaksa ketenangan yang menghanyutkan, meski sesekali, bilamana diperlukan, laut bisa jadi menampakkan gejolak dirinya.

Ketenangan inilah yang memungkinkan laut  bisa berfikir secara jernih, cerdas lagi jenial, khususnya dalam mengikhtiyarkan masalah sampah, limbah dan kotoran kiriman air sungai agar tidak menjadi sumber masalah, bahkan menjadi potensi yang mengangkat nilai dirinya bagi semesta alam.

Terus apa yang dilakukan laut ?

(Pertama) laut akan “mengendapkan”  sampah, limbah dan kotoran tersebut sampai ke lubuk yang paling dasar. (Kedua) mengolahnya dan merubahnya menjadi bahan dasar yang menghasilkan produk  yang sangat bernilai dan amat dibutuhkan oleh siapapun. Apa itu ?  “Garam !”

Saudaraku, begitulah sikap orang yang berhati lapang. Setiap ada orang yang membuat masalah terhadap dirinya, ia akan mengendapkannya, dengan cara ia menahan gejolak amarah yang menggedor-gedor dinding hatinya, setelah itu ia akan mengolahnya dan merobahnya menjadi potensi yang mengangkat nilai dirinya, dengan cara ia maafkan siapapun yang berbuat salah kepadanya bahkan berbuat ihsan (baik) kepadanya.

Alloh pernah mengilustrasikan salah satu ciri orang yang bertaqwa lewat firman-Nya : “…..dan orang-orang yang suka menahan marah dan memaafkan sesama. Sungguh Alloh cinta kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Ali Imran : 134)

Filsafat Garam.

Saudaraku, dalam kehidupan  keseharian, garam adalah salah satu                                                                                                                                                                                                                                                                         “makhluk Alloh” yang sangat bernilai lagi dibutuhkan oleh semua kalangan secara merata tanpa dibeda-bedakan; miskin kaya, rendah tinggi, mulia hina, baik buruk semuanya membutuhkan garam. Cobalah para Ibu memasak tanpa ditemani garam, tentu akan tersajilah masakan yang hambar, tak berasa lagi tak disuka. Kita tidak bisa membayangkan bila seandainya dunia ini tanpa garam.

Betapapun nilai garam sedemikian tinggi lagi dibutuhkan oleh umat manusia, namun pada realitanya ia mendapat perlakuan yang kurang adil lagi tidak bijak dari setiap customer yang mengkonsumsinya.

Lihatlah, dengan angka berapa kita “menghargai” garam ? “Rendah, sangat rendah !”

Namun apa yang dilakukan oleh garam ? Ia, tetap istiqamah memberikan yang terbaik untuk manusia dengan rasa asinnya. Padahal kalau seandainya garam menghargai dirinya dengan angka Rp. 50.000,-/bungkus, tentu manusia tetap akan membelinya, namun sosok garam seperti tidak berselera memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan ini. Ia tetap tegar dengan jati dirinya, meski manusia merendahkan “harga dirinya” ia tetap menampakkan “nilai dirinya”.

Ini semua terjadi karena orientasi hidup garam adalah nilai diri bukan harga diri.

Ibrah Garam

Saudaraku, demikianlah yang pasti akan terjadi pada setiap manusia bermental garam. Ia tidak akan peduli dengan sikap orang lain yang merendahkan harga dirinya. Ia terima semuanya dengan ikhlas penuh kelapangan. Baginya perendahan harga dirinya adalah hamparan peluang untuk meningkatkan nilai dirinya.

Beruntunglah mereka yang orientasi hidupnya nilai diri bukan harga diri, dan selamat menderita bagi yang orientasi hidupnya tidak seperti garam, ia berlagak bagai “emas”.

Garam versus Emas

Berbeda dengan garam, emas justru lebih berorientasi “harga” ketimbang “nilai”. Lihatlah berapa uang harus kita keluarkan untuk bisa membeli emas ? Tidak sedikit alias banyak. Namun lihatlah nilai manfaatnya ? Tidak sebanding dengan harganya.

Kalaulah kita punya kesempatan bisa membeli gelas yang terbikin dari emas semisal, maka di manakah kita meletakkannya? Pasti di lemari besi yang terkunci mati, dipandang tidak, dimanfaatkan pun tidak.

Akhirnya, kalau ingin bahagia jadilah garam dan kalau ingin susah jadilah emas.

Ya Alloh, jangan Kau biarkan kami terlampau larut dengan penghargaan orang lain. Cukupkan diri ini menjadi hamba-Mu yang selalu memberikan manfaat kepada siapapun; memiliki nilai diri di Sisi-Mu, juga di hadapan makhluk-Mu.

>> Kisah Berhikmah

Saat pagi membentangkan jubah putihnya, menyibak tirai gelap yang telah memulaskan setiap penghuni maya. Semilir angin yang bertiup dari utara masih membawa  hawa dingin yang menggigit sukma. Sebagian rumah telah membuka pintu dan jendelanya, pertanda geliat hidup Kampung Padangati mulai terasa.

Seorang anak muda, dengan penampilan yang kelewat sederhana, sandal jepit, baju koko lusuh plus sepeda ontel yang sudah berbesi tua, memasuki halaman rumah orang terkaya di Kampung itu.

Dengan perlahan ia, yang oleh teman-temannya biasa dipanggil Badru, mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Tak berapa lama seorang laki-laki sudah lewat baya membukakan pintu rumah. Beliau adalah pemilik rumah paling megah di Kampung itu, namanya Pak Isma’il.

Begitu pintu terbuka, Pak Isma’il tersenyum penuh keramahan, betapapun beliau tidak mengenal siapa tamu yang datang sepagi ini, sayup-sayup terdengar seorang ibu sedang membaca Al Qur’an.

“Silakan Nak, silakan masuk.” Ujar beliau penuh kesantunan. “Umi, berhentilah membaca Al Qur’an. Ini ada tamu mulia, siapkan minuman dan hidangan untuknya.”

“Dengan senang hati, Abi.”  Sambut istri.

Setelah berbasa basi sejenak. Pak Isma’il pun bertanya kepada sang tamu, anak muda sangat sederhana yang baru sekali ini bertemu dengannya.

“Begini Pak,” seraya menahan gemuruh hatinya. “Pertama niat saya adalah shilaturahim kepada Bapak sekeluarga.”  “Alhamdulillah.” Ucap Pak Isma’il lirih.

“Yang kedua…, seandainya diperbolehkan saya ingin meminang putri Bapak….”

Mendengar ungkapan terus terang Badru yang teramat polos ini Pak Isma’il mengembangkan senyumnya seraya berkata : “Subhanalloh, sungguh ini kehormatan bagi kami. Kami sangat bersimpati kepada Adik. Jauh-jauh datang untuk menyampaikan azam yang sangat mulia ini. Namun…,” Pak Isma’il terdiam sambil perlahan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Maaf, beribu maaf, Adik datang terlambat, beberapa hari yang lalu datang seorang anak muda seperti Adik, meminang  putri kami, dan kami mengiyakannya. Sungguh sayang…., sayang. Maafkan kami.” Mata Pak Isma’il nampak berkaca-kaca.

“Tidak mengapa Pak.” Sahut Badru berusaha mengubur rasa kecewanya. “Seandainya Bapak berkenan, saya tetap ingin menjadi menantu Bapak, dengan saya meminang adik dari putri Bapak tadi.”

“Masya Alloh, kami sungguh kagum dengan kesungguhan Adik, namun maaf, sekali lagi ma’af, adik dari putri saya adalah anak putra. Apa Adik mau?” Seloroh Pak Isma’il. Sambil menggeleng Badru pun berujar : “Kalau begitu dengan adiknya lagi.” Senyum Pak Isma’il pun mengembang, sangat arif. Dengan bijak beliapun berujar : “Terima kasih anakku, namun sekedar memberi tahu, anak kami yang ketiga saat ini masih duduk di bangku TK. Adik mau nunggu barang 17 tahun lagi ?”

“Ah, rasanya terlalu lama Pak.” Badru pun tercenung sejenak. Kemudian dengan mantap ia pun berkata : “Terima kasih, Bapak sudah begitu berbaik hati kepada saya. Saya hanya bisa berdo’a semoga Alloh membalas kebaikan Bapak sekeluarga. Putri Bapak pun dikaruniai keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Do’akan saya semoga segera memperoleh jodoh sesuai harapan…..”

Alangkah beruntungnya Pak Isma’il, di tengah-tengah harga dirinya yang melambung, namun nilai dirinya tetap di atas harga dirinya. Beruntung pulalah Badru, di tengah-tengah kesederhanaan harga dirinya, ia tidak kehilangan nilai dirinya.

Seandainya dunia ini di huni oleh orang-orang seperti Pak Isma’il dan Badru ??!

>> SMS Berjawab

Mana yang harus saya dahulukan antara menikah dengan melunasi hutang. Ma’isyah sudah, usiapun sudah lebih dari cukup (30 th). Tapi saya banyak hutang. Saya sangat bingung. Mohon arahan Ustadz ? 08122789xxx

Kalau kondisinya belum terlalu “mendesak”, maka sebaiknya konsentrasikan dulu membayar hutang, agar ia tidak terlalu menjadi beban.

Ustadz, jika ada wanita mempunyai kecenderungan pada laki-laki A, tapi disuruh pilih laki-laki B oleh Ortu. Mana yang harus dipilih jika semua shalih? padahal takut tak bisa jaga hati/melupakan si A.   081328850xxx

Kalau sama-sama shalihnya, maka sebaiknya memilih B. Soal kekhawatiran tidak bisa melupakan A, insya Alloh akan hilang dengan sendirinya setelah berumah tangga dengan orang shalih tadi.

Leave a comment